Hmm… agaknya ada sedikit kejadian menarik yg terlewat ketika Ahmad menghadiri daurah Syaikh yg dari Unaizah tsb di Ponpes DS Boyolali. Ketika itu, isu terorisme sedang gencar2nya digalakkan oleh AS dan sekutu2nya. Maklum, tragedi 11 September baru berselang beberapa bulan, karena daurah Syaikh tsb dilakukan pada th 2002.
Ahmad masih ingat sebuah pertanyaan dari salah seorang santri yg menanyakan bagaimana pendapat Syaikh tentang perbuatan belasan pemuda Al Qaidah yg menjadi kambing hitam tragedi tsb. Syaikh mengatakan: “Ana syakhsiyyan laa uwaafiq ‘ala mitsli haadzihil ‘amaliyyaat… Hal hum syaawarul ‘ulama’ qabla dzaalik?” (Saya pribadi tidak setuju dengan perbuatan semacam itu. Apakah mereka bermusyawarah terlebih dahulu dengan para ulama sebelum melakukannya?”) tentu saja jawabannya tidak. Akan tetapi Ahmad menyela: “Ya Syaikh, laakin lam yatabayyan ba’du manil qaa-imuuna bihaadzihil ‘amaliyyat?” (Syaikh, tapi kan belum jelas siapa yg benar-benar menjadi dalang perbuatan tsb?). Syaikh pun mengatakan: “Kalaam fulaan jamiil” (Ucapan si fulan bagus…).
Akan tetapi setelah sesi tanya jawab berakhir…. sebelum majelis bubar, segera saja ustadz M selaku mudir ma’had memberi sedikit ‘pencerahan’ (baca: pembelaan), dengan mengatakan yg intinya bahwa itu adalah pendapat syaikh pribadi, akan tetapi Al Qaedah itu bukan teroris… (atau kurang lebih seperti itulah maknanya).
Singkat cerita, kita kembali ke sambungan bagian sebelumnya, akhirnya Ahmad bisa berangkat ke Unaizah beberapa bulan kemudian. Setibanya di Unaizah, lima hari berikutnya terjadilah tragedi Bom Bali yg terkenal itu… dengan sekejap, nama-nama seperti Imam Samudra, Mukhlas, dan Amrozi segera terkenal. Demikian pula Ngruki yg sempat menjadi almamater mereka, dan tentunya ABB juga dikaitkan secara tidak langsung.
Beberapa bulan kemudian, penangkapan demi penangkapan atas ‘aktivis islam’ gencar dilakukan oleh aparat. Bahkan Ahmad mendapat kiriman sms yg sangat mengejutkan, ketika salah seorang sahabatnya yang alumni Ma’had Ali tiba-tiba diberitakan telah mati di tangan aparat. SMS itu berbunyi: “Inna lillaahi wa inna ilaihi roji’un. Si Fulan mati dibunuh thaghut”. Singkat. Namun ibarat petir di siang bolong, sms itu segera menimbulkan rasa geram di hati Ahmad terhadap ‘thaghut’ yg membunuh sahabatnya tsb.
Waktu pun terus berlalu… sejak hari pertama Ahmad di Unaizah, Ahmad mendapatkan lingkungan yg sama sekali berbeda dengan lingkungan SMA-nya dulu. Para thullaabul ‘ilm yang indekos di asrama tempat Ahmad tinggal (letaknya persis di seberang Al Jaami’ul Kabier, yg dikenal juga dengan Jaami’usy Syaikh Ibn Utsaimin, karena di mesjid itulah sehari-harinya Syaikh Muhammad bin Shalih Al Utsaimin menjadi imam dan memberikan pengajian dulunya); benar-benar jauuh berbeda dengan teman2 SMA-nya dulu. Mereka sangat menjaga tutur kata dan sikap… Bahkan tradisi berpakaian mereka sangat sopan dan rapi. Tak ada seorang pun dari mereka yg berani keluar kamar tanpa penutup kepala… atau memakai kaus dan celana panjang, kecuali kalau hendak berolah raga.
Pernah ada suatu kejadian aneh yg juga menarik… yaitu ketika Ahmad baru saja pindah ke asrama, ia membawa seperangkat alat masak dan beberapa makanan khas Indonesia. Spt indomie, kecap, minyak goreng, telur, dll. Melihat ‘bawaan yg aneh tsb’, Ketua asrama hanya tersenyum… dia memaklumi bahwa kebiasaan orang asia tenggara ialah memasak sendiri. Akan tetapi kemudian Ahmad tahu bahwa orang Arab terkadang ‘alergi’ dengan bau sebagian masakan Indonesia. Akhirnya Ahmad sekedar menghabiskan saja apa yg dibawanya, lalu tidak memasak lagi. Sebab ternyata asrama menyediakan makan tiga kali sehari dengan menu yg berganti-ganti tiap hari.
Ruang makan terletak di lantai dasar dengan bentuk memanjang (sekitar 20 m). Hari pertama Ahmad hendak ikut makan, dia sengaja memakai baju kaus karena gamisnya hanya beberapa buah dan khawatir kotor terkena makanan. Ia juga sekedar mengenakan sirwal atau celana panjang santai. Akan tetapi begitu ia masuk ke ruang makan, dari ujung ke ujung pandangan orang tertuju kepadanya… Tapi Ahmad cuek saja karena merasa tidak ada yg aneh pada dirinya. Namun akhirnya ketua Asrama memanggilnya dan bertanya: “Berapa gamis (tsaub) yg antum miliki?”. “Dua” jawabnya. “Hmm… di gudang ada sejumlah gamis yg sudah dicuci, kamu bisa mengambil satu lagi” katanya.
Ahmad pun sadar bahwa semestinya ia selalu pakai gamis begitu keluar dari kamar.
Asrama yg terdiri dari 4 lantai tersebut juga berhadapan langsung dengan pasar sayur & buah utama di kota kecil tersebut, karena letaknya memang di pusat kota. Mesjid Syaikh Utsaimin merupakan mesjid terbesar di kota itu, dan salah satu menaranya sengaja dibiarkan seperti aslinya, yang masih terbuat dari tanah liat dan kayu dan berbentuk mirip kerucut. Di sekeliling mesjid terdapat tanah lapang dan ada dua buah mesjid kecil tradisional, juga berdinding tanah dan beratap daun kurma, namun telah dilengkapi penerangan dan sejumlah Air Conditioner. Memang, salah satu keistimewaan bangunan dari tanah ialah bersifat ‘sejuk’ di musim panas, dan ‘hangat’ di musim dingin.
Tanah lapang itu juga dipergunakan sebagai haraaj atau pasar loak kagetan setiap hari Jum’at.
Di kota ‘Unaizah tsb, Ahmad mulai berubah sedikit demi sedikit. Kemampuan bahasa Arab pun dengan cepat terasah, karena memang dia tidak tinggal satu kamar dengan orang Indonesia, namun teman sekamarnya adalah orang Sudan dan Filipina. sedangkan kamar-kamar sebelahnya dihuni oleh orang Yaman dan Saudi.
Hari demi hari berlalu dan banyak ilmu yang Ahmad peroleh dari para syaikh pengajar di Mesjid Jami’ Ibn Utsaimin tsb, dan mereka semua adalah murid-murid senior Syaikh Utsaimin rahimahullah. Mereka ada tiga orang, yaitu Syaikh Abdurrahman Ad Dahsy, Syaikh Khalid Al Muslih, dan Syaikh Sami As Suqair. Dua yg terakhir adalah murid sekaligus menantu Syaikh Utsaimin. Syaikh Abdurrahman memiliki keistimewaan dari sisi akhlaknya yg luar biasa, sedangkan Syaikh Khalid terkenal dengan kedekatannya dengan thullab, adapun Syaikh Sami terkenal dengan kemiripan gaya mengajarnya dengan gaya guru sekaligus mertuanya, yaitu Syaikh Ibn Utsaimin.
Syaikh Abdurrahman ketika itu mengajarkan nahwu (alfiyah Ibnu Malik) dan syarah Umdatul Ahkam. Sedangkan Syaikh Khalid mensyarah kitabut Tauhid dan Tafsir As Si’dy. Adapun Syaikh Sami mensyarah kitab fiqih Hambali, yaitu Zaadul Mustaqni’.
Bagi Ahmad, pembahasan kitab2 tadi terkesan sulit difahami karena sudah level menengah ke atas… akhirnya Ahmad bergabung dengan daurah singkat yg diadakan bagi para pemula, lalu setelah itu ia bergabung kembali dengan halaqah ketiga masyayikh tadi.
Hari demi hari berlalu hingga pada suatu hari, terjadilah pengeboman di Riyadh yg dilakukan oleh para ‘teroris’… Konon di antara yg terlibat dlm pengeboman jahat tsb adalah warga negara Maroko dan sejumlah warga saudi asal Qassim.
Akhirnya, kitalah yg kena getahnya… pihak Jawazat (kantor imigrasi) Unaizah segera mengultimatum semua warga asing di Unaizah yg majikannya tidak berada satu kota dengannya, agar kembali ke majikan masing-masing. Akhirnya berantakanlah nasib para thullab… ada sekitar 90 orang thalib yg harus angkat kaki dari sana, termasuk ketua asrama dan wakilnya. Akan tetapi, Alhamdulillah Ahmad tidak perlu angkat kaki karena majikannya tinggal satu kota dengannya.
Seiring dengan kondisi yg menjadi kurang kondusif, tiba-tiba ada berita bhw pihak keamanan akan mengadakan penggeledahan asrama. Maka semua santri yg ada diperintahkan untuk mengeluarkan kaset-kaset yg dimilikinya, selain kaset Syaikh Bin Baz dan Syaikh Utsaimin. Demikian pula buku-buku atau tulisan berbau ‘jihad’ yg ditulis oleh orang-orang yg tidak dikenal.
tak lama setelah ketegangan tersebut, datanglah sebuah sms dari ibunda Ahmad yg mengatakan bahwa ada sepucuk surat dari luar negeri yg ditujukan kepada Ahmad, dan di dalamnya ada selembar kertas yg terpampang di sana foto Ahmad. Namun karena semuanya berbahasa Arab -dan sayangnya tak seorang pun yg faham bahasa Arab di rumah saat itu-, maka surat tsb akhirnya dibawa ke pesantren terdekat untuk ditanyakan apa isinya. Namun ibu berkata bahwa ‘kelihatannya kamu keterima di Madinah’.
Betapa bahagianya Ahmad mendengar kabar tsb… ia tak sabar untuk mendengar kepastian berita tadi, sehingga akhirnya menelpon ke solo dan ternyata memang begitulah kenyataannya. Alhamdulillah… Ahmad sujud syukur seketika dan berseri-seri mukanya… cita2nya untuk belajar di Madinah akhirnya terkabul juga. Ia segera memberitahukan kabar gembira tsb ke teman2 sekamarnya… lalu keesokan harinya menghubungi kampus Univ Islam Madinah. Ahmad menanyakan apa yg harus dilakukannya bila ia diterima untuk belajar di Madinah, sedangkan saat ini ia sudah berada di saudi, bisakah ia langsung pindah ke Madinah atau tidak. Ternyata peraturan mengharuskannya untuk pulang dulu ke Indonesia dan mengeluarkan visa baru untuknya sebagai pelajar, karena visa yg dipakainya selama ini adalah visa pekerja.
Ahmad pun segera menghubungi kafil/majikannya dan mengabarkan hal tsb… akan tetapi sang majikan agak kaget dan tidak mengira sebelumnya bahwa Ahmad hendak meninggalkan Unaizah sblm waktunya bila dirinya diterima di Madinah. Ia mengatakan bhw kedatangan Ahmad ke sini adalah atas biaya yayasan dan dengan kesepakatan bahwa ia akan menetap selama 2 tahun lalu berkhidmat untuk yayasan selama 4 tahun. Akan tetapi setelah negosiasi ringan, akhirnya majikan mengizinkan dengan syarat Ahmad mengembalikan separuh ongkos pengeluaran visa yaitu 1000 Riyal. Dan Alhamdulillah, majikan tidak jadi mewajibkan Ahmad untuk berkhidmat bagi yayasan, karena toh Ahmad hendak melanjutkan studinya di Madinah.
Ahmad kemudian mengabarkan rencananya kepada para masyayikh, dan kebetulan saat itu sedang diadakan daurah musim panas. Maka Syaikh Abdurrahman Ad Dahsy mengatakan agar Ahmad tetap tinggal saja sampai daurah selesai, ‘karena kamu tidak akan kesini lagi nantinya’. Demikian kata beliau.
Akhirnya Ahmad pun mengikuti daurah hingga selesai, lalu sebelum pulang ia meminta nasehat dari ketiga syaikhnya. Baru setelah itu ia pulang lagi ke Indonesia setelah menghabiskan waktu 10 bulan kurang tiga hari.
bersambung…